Manusia-manusia Beku
Alvi Innayah
(12/335262/SA/16725)
Jika
tiba-tiba segalanya tentang konsep menyembul keluar satu demi satu tanpa
tertahan, dari manusia yang seteguk penuh dengan tekanan, maka jaminan akan
rasa muak telah merdeka. Hening. Sunyi. Sepi. Hanya ada kerumun-kerumun
dengungan yang tak jelas. Mewakili rasa kepenatan yang senantiasa mencibir.
Nyiyir. Tumpukan-tumpukan berwarna-warni itu sepertinya sudah menjadi wadah
mati konsep-konsep gila yang hanya diam tak melawan. Merah, hijau, kuning atau
bahkan absurd karena melawan waktu. Predikat “Absurd” itu sekiranya membuatnya
lebih berharga. Walau harus paling lusuh. Biasanya yang lusuhlah yang paling
banyak dicari. Dengan asumsi ada banyak harta karun pada segala hal dari waktu
sebelum sekarang. Ada banyak keberhargaan pada tempat dengan banyak asumsi. Di
sini. Di tempat beku dimana para manusianya sudah sedingin es. Beku. Membisu. Kamu
akan hanya tersenyum getir jika menyadari bahwa sedari tadi tidak menemukan
kebahagiaan pada pencarian. Tidak ada rasa yang membuat bahagia. Tidak ada
logika untuk menimbang rasa. Hanya kematian.
Membayangkan
jika saja kamu membuat ricuh, gaduh dan penuh hal konyol yang tidak penting,
menunggu setiap ekspresi yang akan muncul pada wajah-wajah depresi yang tidak
terprediksi. Ilusi. Senyatanya kamu hanya diam dan memenuhi telingamu dengan
kegaduhan do re mi dari saluran favoritmu. Duduk di sudut tak terduga oleh
manusia lain dan senantiasa bergelut dengan imaji logis ketidakwarasanmu.
Setidaknya mereka berpikir untuk memilih tempat yang sewajarnya. Mereka tahu
benar apa yang terlakukan. Mereka memiliki alasan yang berterima untuk merajai
tempat ini. Untuk membuatnya menjadi sebuah poros keberlakuan hidup. Tidak sepertimu.
Seperti alien tak bernyawa yang semenanya memilih tempat dan tanpa alasan.
Sekenanya saja mengklaim tempat ini wilayahmu. Meja dengan luas delapan kali
empat jengkal tanganmu. Meja ini milikmu. Selama kamu menganggapnya dan tak
berkenan beranjak.
Beberapa
senyap kemudian, ada sepasang mata absurd lainnya, lebih parah darimu dia
memilih tempat sakral. Pojokan. Bayangkan keterkejutanmu berubah menjadi tawa
aneh yang relatif. Yang lebih aneh lagi kamu bangga dengan tempat strategi itu.
Luput dari para pendatang, aman dan sangat nyaman, begitupun wilayahmu, mereka
yang tak peka takkan menemukanmu dengan mudah atau kamu yang keterlaluan
memilih tempat sesukanya. Berpikir sajalah dulu. Sebenarnya apa keuntungan
mengkritisi segala bentuk aktivitas yang wajar. Manusiawi. Seharusnya. Untuk
memperoleh suatu bentuk kebenaran maka kamu hanya beralasan dengan menguji
kemampuan analisa dan kepekaan yang terbatas. Sebelum kamu tidak dapat
menganalisa dan kehilangan kepekaanmu. Mati. Alasan yang akurat. Tidak pernah
untuk menjadi menang dari logikamu sendiri. Selalu menemukan alasan dalam
tindak tandukmu yang cenderung memilih dan mirip orang tidur. Merasakan, mimpi
dan mati. Hidup tapi sekarat. Jaminan seratus persen mereka yang dingin tak
sadar dengan kegaduhan angin. Tapi kamu yang hidup sekarat akan memasuki fase
baru nun lucu semacam pencapaian realita. Hidup. Bertaruh seluruh kemunafikan
manusia, kegaduhan itu nyaman.
Meskipun
upaya dengan segala macam senyuman untuk menggoda menjadi kaku, menertawai
manusia-manusia beku dengan dan tanpa kesadaran mereka membuatmu lebih berada
pada titik kenyamanan ekstra. Mungkin hingga mereka lelah kamu tertawakan atau
kamu lelah menertawakan. Sebab tidak adanya kesaling-mengertian antara kamu dan
mereka. Sadarlah. Pergi. Sebelum kamu hancur dengan tusukan-tusukan tajam nan
beku. Kamu yakin jika itu terjadi kamu akan segera berubah seperti mereka. Menjadi
mumi-mumi bodoh budak sistem. Atau kamu yang terlalu tidak tahu diri karena
kebodohanmu. Kumohon segeralah enyah dari tempat pertapa sunyi ini.
Perpustakaan ini.